Hidup Tanpa Cita-Cita

Mari flashback dikit ke masa laluku waktu masih SMP sampe SMA, gak pernah terpikir sedikitpun untuk menjadi PNS. Aku gak punya cita-cita. Satu-satunya cita-cita waktu SD cuma menjadi Dokter Spesialis penyakit dalam atau saraf atau apalah pokoknya yang berhubungan dengan organ tubuh bagian dalam. Tapi itu SD. Mari flashback dikit ke masa laluku waktu masih SMP sampe SMA, gak pernah terpikir sedikitpun untuk menjadi PNS. Aku gak punya cita-cita. Satu-satunya cita-cita waktu SD cuma menjadi
Dokter Spesialis penyakit dalam atau saraf atau apalah pokoknya yang berhubungan dengan organ tubuh bagian dalam. Tapi itu SD, setelah menginjak bangku SMP dan SMA aku cukup paham tidak mungkin bisa mencapai cita-cita semacam itu karena otakku yang memang tidak akan memadai serta keadaan ekonomi yang sepertinya tidak memungkinkan ke arah sana.
Memutuskan kuliah diluar pulau Sumatra mungkin bisa dibilang sebagai satu-satunya cita-citaku saat hampir lulus SMA. Alasannya cukup simple, aku hanya ingin pergi hidup mandiri menyeberang lautan, dan satu-satunya pulau yang  kutuju adalah pulau Jawa. Tidak peduli Universitas apa yang akan kumasuki, tidak peduli Fakultas dan Jurusan apa yang akan kutempuh, aku hanya ingin kuliah di luar Sumatra, hanya di Jawa.
Masih kuingat betul sebuah kalimat dari seorang teman : “Kuliahlah sejauh mungkin selama orang tua masih sanggup membiayai”. Atas dasar itulah aku mulai berpikir untuk mengadu nasib, mencari pengalaman baru di tanah orang.
Lalu sampailah aku, di sebuah tempat bernama Solo, kampung kelahiran bapakku. Berharap untuk mencoba hidup disini. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku tidak peduli pada Universitas apa yang akan kumasuki, maka kampus apapun bukanlah suatu masalah bagiku. Dari awal aku sudah tau bahwa otakku tidak cukup memadai untuk masuk ke salah satu Universitas favorit disini, jadilah aku masuk di sebuah kampus yang menamai dirinya STIE AUB, sebuah sekolah yang konon kabarnya duluuuuuu sekali punya taring cukup tajam di kota ini, namun sekarang taringnya sudah diganti dengan gigi palsu yang tidak tajam sama sekali (anda paham maksud saya?).
Akhirnya, satu-satunya cita-citaku sudah tercapai. Aku benar-benar kuliah di luar pulau Sumatra meninggalkan banyak teman yang entah sudah berpencar kemana. Lalu apalagi langkah selanjutnya?? Apa cita-citaku selanjutnya?? Kenyataannya aku tetap tidak bisa memutuskan akan menjadi apa diriku setelah lulus kuliah, dan itu berlanjut ketika aku berhasil lulus kuliah sebagai D-3 yang kebingungan. 1 tahun setelah wisuda kuhabiskan dengan omong kosong, tidak terlalu bekerja namun tidak pula terlalu menganggur, hingga akhirnya kuputuskan untuk kembali meneruskan kuliah di kampus yang sama dan berharap kelak akan lulus dengan embel-embel sarjana (S-1). Masalahnya adalah aku masih terjebak pada kebodohan yang sama yaitu “aku belum memiliki cita-cita untuk meneruskan langkah selanjutnya.”
Bersyukurlah bagi kalian yang masih memiliki cita-cita dan terus berjuang untuk mendapatkannya. Bersyukurlah bagi kalian yang telah berhasil menggapai cita-citanya. Bersyukurlah bagi kalian yang bingung memilih cita-cita karena saking banyaknya kesempatan yang bisa kalian pilih untuk diraih. Sementara aku ?? Aku cukup bersyukur karena walau hidupku tanpa cita-cita namun aku masih bisa bersyukur.(Bingung??sama, aku juga bingung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar